LBH AMPUH INDONESIA Soroti Lalainya Kontraktor di Bekasi: Nyawa 3 Anak Bukan Harga yang Bisa Ditebus Santunan, Perdamaian Bukan Alasan Menghapus Kelalaian Hukum Kontraktor
6 November 2025
BEKASI, 5 November 2025 — Dunia konstruksi kembali diguncang tragedi. Tiga anak meninggal setelah mengalami kecelakaan di area proyek di Setu, Bekasi, akibat lemahnya pengamanan lokasi kerja. Peristiwa ini kembali menyoroti rendahnya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), meski kewajiban tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012.
Dalam perspektif hukum, kontraktor bertanggung jawab bukan hanya terhadap keselamatan pekerja, tetapi juga masyarakat sekitar proyek. Ketiadaan pagar pengaman, rambu peringatan, dan tanda larangan masuk merupakan bentuk kelalaian nyata. Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian wajib dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab tersebut tidak dapat dihapus hanya karena adanya perdamaian atau santunan kemanusiaan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Aliansi Masyarakat Penegak Supremasi Hukum (LBH AMPUH), Joni Sudarso, S.H., M.H., CPLA, menegaskan bahwa kecelakaan ini bukan musibah alam, melainkan akibat kelalaian yang seharusnya dapat dicegah. “Kontraktor wajib proaktif menerapkan SMK3, bukan menunggu tragedi. Ini menyangkut tanggung jawab moral dan hukum,” ujarnya, Rabu (6/11/2025). Ia menambahkan bahwa perdamaian tidak serta-merta meniadakan pertanggungjawaban pidana, terutama jika unsur kelalaian dan korban jiwa telah terpenuhi sesuai Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP.
Publik juga mempertanyakan lambannya langkah korektif dari pihak kontraktor pasca kejadian. Mengacu pada Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juncto PP No. 50/2012, perusahaan wajib segera melakukan evaluasi dan tindakan perbaikan pasca kecelakaan kerja. “Jika sehari setelah kejadian tidak ada tindakan, kontraktor dapat dianggap tidak melaksanakan kewajiban SMK3. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk pembiaran yang membahayakan” kata Joni.
Dugaan yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan sertifikat SMK3 proyek diperoleh melalui praktik jual beli. Merujuk pada kasus OTT di Kementerian Ketenagakerjaan, praktik semacam itu bukan isapan jempol. “Jika sertifikat diperoleh tanpa implementasi nyata, itu bentuk penipuan terhadap hukum dan publik. Nyawa dipertaruhkan demi formalitas administrasi” tegasnya. Ia menilai pemerintah perlu memeriksa keaslian serta penerapan SMK3 di setiap proyek, terlebih yang berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN).
Peristiwa ini juga berkaitan dengan kewajiban perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j UU No. 35/2014. “Ketika anak-anak dapat masuk ke area proyek tanpa pengamanan, berarti sistem perlindungan gagal total. Ini kelalaian struktural yang harus dipertanggungjawabkan" ujar Joni.
Dalam konteks hukum publik, diskresi kepolisian dapat digunakan untuk membuka kembali perkara yang berdampak luas bagi masyarakat. Berdasarkan Pasal 18 UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, penyidik memiliki kewenangan mengambil langkah untuk melindungi kepentingan umum meski perkara telah dimediasi. “Jika ada korban jiwa dan kelalaian sistemik, proses hukum harus tetap berjalan demi keadilan publik” kata Joni.
Ia menegaskan bahwa hukum harus berpihak pada kemanusiaan “Nyawa tidak bisa dibeli, dan hukum tidak boleh ditawar. Jika kontraktor abai dan pengawasan lemah, maka negara wajib hadir menegakkan keadilan. LBH AMPUH Indonesia akan terus mengawal kasus ini”.
Selain penegakan hukum, LBH AMPUH meminta pemerintah memperkuat pengawasan keselamatan di seluruh proyek. “Pelaksana konstruksi wajib memiliki tim pengawasan internal dan audit keselamatan yang transparan. Keselamatan harus menjadi budaya kerja, bukan sekadar syarat administratif,” ujarnya.
Tragedi ini menjadi cermin bahwa keselamatan dalam dunia konstruksi masih kerap dipandang sebagai formalitas. Penerapan SMK3 perlu dijadikan prinsip dasar demi mencegah korban berikutnya. “Jika kontraktor gagal melindungi nyawa, maka negara harus hadir memastikan keadilan ditegakkan” tutup Joni Sudarso.



